Jumat, 16 Agustus 2013

BAHAN PRESENTASI SEJARAH KERAJAAN TIDORE



Awal Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate pertama adalahMuhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru pada tahun 1471 M, agamaIslam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh Ciriliyah, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.

 Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.
Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an.
Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.

Sejarah perkembangan dan kemunduran
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaan Kesultanan Tidore (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.

Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.

Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.

Kesultanan Tidore mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan yang oleh kawula Tidore dikenal dengan sebutan Jou Barakati. Pada masa kekuasaannya 1797 – 1805), wilayah Kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Tanah Papua.

Alasan bantahan terhadap hal ini didasarkan pada argumennya bahwa :
  1. Pasific Selatan terlalu jauh dari Tidore.
  2. Tidak adanya pengakuan dari penduduk setempat di Pasific Selatan bahwa mereka mempunyai kaitan sejarah dengan Sultan Nuku.
  3. Tidak ada bukti-bukti dan catatan tertulis tentang kapan dan bagaimana Sultan Nuku data ng dan memberi nama pulau-pulau tersebut.
  4. Masyarakat Pasific Selatan saat ini mayoritas beragama Kristen. Jika memang kekuasaan Sultan Tidore telah sampai ke sana tentu ada jejak-jejak Islam ditemukan di sana.
  5. Sultan Nuku hidup ketika penjajah Eropa sudah berdatangan ke wilayah Timur dan wilayah Pasific Selatan diduduki oleh mereka.
  6. Masa hidup Sultan Nuku lebih banyak digunakan untuk berjuang melawan Belanda.
  7. Adanya nama Nuku di depan nama kota atau tempat di sana bukanlah bukti yang bermakna kuat karena bisa saja kata “Nuku” di sana mempunyai arti yang berbeda.


Tugas Presentasi Sejarah kelompok 7,XI IPA 1 "Kerajaan Ternate dan Tidore"

Kerajaan Ternate dan Tidore
1.Letak Geografis
Secara geografis kerajaan Ternate dan Tidore terletak di Kepulauan Maluku, antara Sulawesi dan Papua. Letak tersebut sangat strategis dan penting dalam dunia perdagangan masa itu. Pada masa itu, kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar sehingga dijuluki sebagai “The Spicy Island”. Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan pada saat itu, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang dan bertujuan ke sana. Melewati rute perdagangan tersebut agama Islam meluas ke Maluku, seperti Ambon, Ternate, dan Tidore. Keadaan seperti ini telah mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

2.Sistem pemerintahan
Masyarakat ternate : Tiap kelompok masyarakat pada zaman pra-Islam di Ternate mendiami suatu tempat tinggal, yang mereka sebut dengan istilah Gam (Kampung), warganya terdiri dari beberapa keluarga/kerabat yang dalam istilah daerah disebut dengan sebutan Soa (Marga) yang dipimpin oleh seorang Fanyira, singkatan dari kata ‘Ngofa ma-nyira’
Selanjutnya masing-masing kepala Soa dipimpin oleh seorang Momole (Kepala Kampung) yang bergelar; Kimelaha, Fanyira dan Sangadji. Disamping sebutan untuk seorang kepala Soa untuk tiap-tiap Soa, kata momole terambil dari kata “Tomole“ yang mempunyai arti; Kesaktian atau Kehebatan, yakni orang yang menjadi pemimpin karena mempunyai kelebihan dan kesaktian dalam berbagai hal.

Kelompok masyarakat waktu itu masih menjalankan kepercayaan primitif, dan kadang-kadang sering terjadi pertentangan dan saling bermusuhan dalam hal memperebutkan hegemoni. Dengan demikian maka, di Ternate pada zaman pra-Islam terdapat 4 orang Momole. Seorang Momole diangkat berdasarkan kharisma yang ada padanya. Setelah masuknya agama Islam, maka sistem pemerintahan Momole berubah. Keempat Momole tersebut, bergabung dan dipimpin oleh seorang Kolano. Pada masa awal sistem ini, struktur kepemimpinan masih sangat sederhana.

Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Ternate, maka berkembang pula sistem pemerintahan Kolano, seperti juga di Tidore, Bacan dan Jailolo. Ke-empat Kolano ini kemudian membentuk konfederasi persekutuan antara empat kerajaan tersebut di Taunane Pulau Moti (Moti Verbond), yang kemudian dikenal dengan sebutan persatuan “Moloku Kie Raha”. Ternate waktu itu dipimpin oleh Kolano ke-7, yang bernama Kolano Sida Arif-ma-Lamo.

Sida Arif ma-Lamo ditunjuk sebagai “Kolano Ma-Dopolo” yang pemimpin persekutuan ini. Dinobatkan sebagai Kolano Ternate tahun 1322 dan memerintah selama 9 tahun (1322-1331). Dalam sistem ini, struktur kepemimpinannya lebih disempurnakan.

Pada perkembangannya selanjutnya , sejak tahun 1486, disaat penobatan Kolano ke-19, Zainal Abidin, yang pertama kali memakai gelar “SULTAN” yang memerintah dari tahun 1486 – 1500, adalah merupakan masa peralihan dari bentuk Kolano ke bentuk Kesultanan. Beliau diberi gelar ; Paduka Sri Sultan Zainal Abidin.

Dalam struktur kepemimpinan kesultanan, dibentuk lembaga-lembaga tradisional. Pelaksanaan tugasnya, Sultan dibantu oleh badan-badan dan pejabat seperti :

1. KOMISI NGARUHA, (fungsinya disamakan dengan Dewan Pertimbangan Agung).

2. BOBATO MA-DOPOLO, yaitu suatu Dewan Pembantu Sultan, anggotanya terdiri :
a. Jogugu, sebagai wakil Sultan merangkap kepala Bobato. Jogugu adalah singkatan dari ‘Jou Kolano ma-gugu’ yaitu wakil Sultan bidang Pemerintahan , yang berkuasa dan bertanggung jawab atas seluruh kebijakan kesultanan tertinggi dibawah Sultan, yang dijabat oleh bangsawan Senior di kalangan kerabat keluarga terdekat Sultan. (disamakan dengan Perdana Menteri).
b. Kapita Lao, yang bertanggung jawab dalam masalah yang bertalian dengan peperangan, yang dijabat oleh bangsawan Senior di kalangan kerabat Sultan. (disamakan dengan Panglima Armada Laut).
c. Hukum Soa Sio, adalah seorang pejabat yang bertanggung jawab dan menangani hal-hal yang berhubungan dengan urusan di dalam negeri. (disamakan dengan Menteri Dalam Negeri).
d. Hukum Sangadji, adalah seorang pejabat yang bertanggung jawab dan menangani masalah-masalah luar negeri termasuk daerah takluk-kan. (disamakan dengan Menteri Luar Negeri).
e. Tuli Lamo, sebagai juru tulis kesultanan, (disamakan dengan Menteri Sekretaris Negara).

3. BOBATO NYAGI MOI SE-TUFKANGE, yaitu Dewan 18 yang anggotanya terdiri dari delapan belas Orang. Mereka terdiri dari :
a. Berasal dari Soa-Sio sebanyak 9 orang, yaitu :
1) Pejabat berpangkat Kimelaha, sebanyak 5 orang.
2) Pejabat berpangkat Fanyira, sebanyak 4 orang.
b. Berasal dari Pejabat berpangkat Sangaji, sebanyak 9 orang, yang merupakan wakil utusan dari wilayah seberang.

Dalam struktur kepemimpinan tradisional di kesultanan Ternate, terdapat semacam Dewan Rakyat, yang disebut dengan GAM RAHA, yang wakilnya terdiri dari pejabat perwakilan keempat wilayah yang terdiri dari :

1. SOA-SIO, (Komunitas masyarakat yang terdiri dari 9 kelompok Soa/distrik yang berada di di wilayah pusat Kesultanan).
2. SANGADJI, (Komunitas beberapa distrik di negeri seberang/wilayah taklukkan).
3. HEKU, (Komunitas masyarakat Ternate yang wilayahnya mulai dari Ake Santosa (sekarang Kelurahan Salero) ke utara hingga ke pulau Hiri termasuk Halmahera muka).
4. CIM, (Komunitas masyarakat dari Ake Santosa ke salatan hingga mencapai batas desa Kalumata).

4.Sistem Perekonomian
Tanah di kepulauan Maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan hasil diantaranya cengkeh dan di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada abad ke 12 M permintaan rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan komoditi yang penting. Pesatnya perkembangan perdagangan keluar Maluku mengakibatkan terbentuknya persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut mendukung perekonomian masyarakat.
 
 5. KEHIDUPAN SOSIAL
Kedatangan bangsa Portugis di kepulauan Maluku bertujuan untuk menjalin perdagangan dan mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis juga ingin mengembangkan agama Katholik. Dalam 1534 M, agama Katholik telah mempunyai pijakan yang kuat di Halmahera, Ternate, dan Ambon, berkat kegiatan Fransiskus Xaverius. Seperti sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku terutama Ternate sebagai pusatnya, sudah masuk agama islam. Oleh karena itu, tidak jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis untuk memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan campur tangannya orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa. Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang sudah memeluk agama Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan semakin tertekannya kehidupan rakyat. Keadaan ini menimbulkan amarah yang luar biasa dari rakyat Maluku kepada kompeni Belanda. Di Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum berkobar, namun perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni Belanda. Kehidupan rakyat Maluku pada zaman kompeni Belanda sangat memprihatinkan sehingga muncul gerakan menentang Kompeni Belanda.
 
6.Peninggalan Budaya



8.Sejarah Perkembangan Kerajaan


5.Sejarah Kerajaan
Sejak abad ke-13, Ternate dan juga Tidore sudah dikenal dalam kancah perdagangan dunia sebagai pusat perdagangan rempah. Berbagai saudagar yang berasal dari Arab, India, dan Tionghoa serta Persia datang ke wilayah ini untuk berdagang hingga akhirnya para pedagang dari Eropa seperti Inggris, Portugis, Belanda, dan Spanyol juga hadir di wilayah ini, khususnya untuk mencari cengkeh dan pala.
Saat itu wilayah Maluku Utara dikenal degan nama Moluku Kie Hara yang secara harfiah berarti gugusan empat pulau bergunung. Keempat pulau itu dikuasai oleh empat kesultanan yaitu Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan yang hingga saat ini masih berjalan. Oleh Keempat kesultanan inilah hubungan perdagangan mulai dijalin.

Pada tahun 1522, Portugis yang dipimpin Antonio de Brito berhasil mengusir Spanyol Setelah Spanyol meninggalkan Tidore, bangsa Portugis mulai memonopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah Ternate ini. Maka timbulah perlawanan rakyat dari keempat kesultanan dalam melawan monopoli perdagangan. Hal itu juga terjadi saat bangsa lain datang seperti Inggris dan Belanda dengan niat yang lama hingga peperangan melawan penjajah melahirkan beberapa pahlawan nasional.

Masuknya Islam ke Maluku erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan.
Pada abad ke-15, para pedagang dan ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan
Islam ke sana. Dari sini muncul empat kerajaan Islam di Maluku yang disebut
Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate yang
dipimpin Sultan Zainal Abidin (1486-1500), Kesultanan Tidore yang dipimpin
oleh Sultan Mansur, Kesultanan Jailolo yang dipimpin oleh Sultan Sarajati,
dan Kesultanan Bacan yang dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko. Pada masa kesultanan itu berkuasa, masyarakat muslim di Maluku sudah menyebar sampai
ke Banda, Hitu, Haruku, Makyan, dan Halmahera.
Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera
(Maluku Utara) adalah dua kerajaan yang memiliki peran yang menonjol dalam
menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang mencoba menguasai Maluku. Dalam
perkembangan selanjutnya, kedua kerajaan ini bersaing memperebutkan hegemoni
politik di kawasan Maluku. Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan daerah
penghasil rempah-rempah, seperti pala dan cengkeh, sehingga daerah ini menjadi
pusat perdagangan rempah-rempah.
Wilayah Maluku bagian timur dan pantai-pantai Irian (Papua), dikuasai
oleh Kesultanan Tidore, sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo,
dan Banggai di Sulawesi, dan sampai ke Flores dan Mindanao, dikuasai oleh
Kesultanan Ternate. Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaannya pada
masa Sultan Baabullah, sedangkan Kerajaan Tidore mencapai puncak
kejayaannya pada masa Sultan Nuku.